1.1. Latar Belakang
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986).
Kondisi tersebut diatas ditunjukkan dengan tingginya laju urbanisasi, dimana proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, dimana konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian.
Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor pertanian di wilayah tersebut tidak berhasil dikembangkan terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, maka akan dapat memberi dampak negatif terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan dan pembangunan daerah secara khusus, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan (instability) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang ulang.
Akibat kemiskinan dan ketertinggalan maka masyarakat perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan telah menimbulkan derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota kota besar, karena itu berkembanglah sektor-sektor informal dan pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan.
Kondisi ini pada akhirnya juga memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sebelumnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga menimbulkan pencemaran hebat, permukiman kumuh. keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kesehatan dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.
Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias dan migrasi penduduk perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi peningkatan ekonomi penduduk di perdesaan kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan. Pentingnya sumber daya manusia dalam hal ini adalah agar potensi yang ada di perdesaan dapat digarap secara optimal untuk dipergunakan bagi peningkatan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Kabupaten Semarang sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 19 kecamatan dengan 235 desa/kelurahan. Secara geografis wilayah Kabupaten Semarang cocok untuk pertanian, sehingga agropolitan dikembangkan di wilayah ini sejak tahun 2003 di Kecamatan Sumowono dengan Desa Candigaron sebagai Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) dan 7 (tujuh) desa hinterland (penyangga) yaitu Desa Pledokan, Desa Ngadikerso, Desa Kebonagung, Desa Lanjan, Desa Trayu, Desa Kemitir, dan Desa Sumowono. Namun demikian kawasan agropolitan ini belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakatnya dikarenakan belum siapnya sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menggarap dan menangani potensi yang ada di kawasan.
Gambar 1. Peta Kabupaten Semarang
Terkait dengan pertumbuhan ekonomi penduduk dan ketersediaan pendidikan yang ada di kawasan agropolitan Kabupaten Semarang, beberapa permasalahan yang muncul adalah :
a. Masih rendahnya kualitas dan tingkat pendidikan masyarakat di kawasan
b. Ketersediaan pendidikan dan sarana prasarana penunjang yang belum memadai
c. Masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat kawasan yang dapat dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
d. Belum terkelolanya potensi sumber daya alam yang ada di kawasan karena belum siapnya sumber daya manusia
e. Belum dijadikannya pertanian di kawasan sebagai sektor yang mampu meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat
f. Masih adanya kesenjangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan
Dari kesemua permasalahan tersebut maka dapat ditarik permasalahan utama ”Bagaimanakah pertumbuhan ekonomi dan dukungan ketersediaan pendidikan di kawasan agropolitan?”
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah dengan judul ”Agropolitan : pertumbuhan ekonomi penduduk dan Dukungan Pendidikan” ini adalah :
a. Mengidentifikasi terjadinya kesenjangan pembangunan perdesaan dan perkotaan yang berakibat terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi
b. Mengidentifikasi kualitas sumber daya manusia sebagai subyek maupun obyek pembangunan
c. Mengidentifikasi dukungan pendidikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada.
d. Mengetahui sejauhmana pertumbuhan ekonomi penduduk dan dukungan ketersediaan pendidikan di kawasan agropolitan Kabupaten Semarang
1.4. Teori
Menurut UU No. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa “Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu”. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya penegasan terhadap “kedudukan” kawasan perdesaan yang berarti penegasan terhadap fungsi dan peran kawasan perdesaan. Selanjutnya, fungsi dan peran kawasan perdesaan ini seharusnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi acuan pengembangan kawasan perdesaan.
Di sisi lain selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi dimana alat yang dipergunakannya adalah dengan mendorong industrialisasi di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini bila ditinjau dari pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan karena sektor strategis yang didorong dalam proses industrialisasi hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat (Soenarno, 2003).
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa, telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini (Siswono Yudohusodo, 2002).
Kondisi kawasan perdesaan pada umumnya masih tetap dicirikan oleh masih besarnya jumlah penduduk miskin, terbatasnya alternatif lapangan kerja, dan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja perdesaan. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya kendala seperti rendahnya tingkat penguasaan lahan pertanian oleh rumah tangga petani dan tingginya ketergantungan pada kegiatan budidaya pertanian (on farm), lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan dan jasa penunjang serta keterkaitan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat perdesaan, rendahnya akses masyarakat kepada sumber permodalan dan sumber daya ekonomi produktif lainnya, serta terbatas dan belum meratanya tingkat pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat.
Berdasarkan berbagai permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk Kawasan Agropolitan.
Disamping itu, Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.
Gambar 2
Konsepsi Pengembangan Kawasan Agropolitan
Salah satu ide pendekatan pengembangan kawasan perdesaan yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana keterkaitan
dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Friedman dan Douglas (1975) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50. 000 sampal 150. 000 orang.
Pembangunan ekonomi lokal atau biasa disebut Local Economic Development (LED) termasuk salah satu usaha yang perlu dilakukan dalam perencanaan suatu wilayah dan telah menjadi tumpuan pemulihan ekonomi. Pembangunan ekonomi lokal merupakan pembangunan ekonomi berdasarkan potensi lokal daerah untuk pengembangan suatu wilayah dimana pembangunan ini mengutamakan kepentingan masyarakat dan berharap masyarakat mau memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, sosial, dan sumber daya fisik yang dimiliki untuk menciptakan suatu sistem perekonomian.
Ditinjau dari pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, Indonesia menghadapi masalah serius di sektor pendidikan. Dalam kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia, pendidikan sekolah menengah di Indonesia yang masih rendah yang akan menyebabkan adanya angkatan kerja yang kurang berpendidikan di masa yang akan datang. Secara gender, tidak ada indikasi bahwa telah terjadi diskriminasi gender yang serius mengenai akses terhadap pendidikan di Indonesia. Angka masuk sekolah anak laki-laki hanya sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan. Akan tetapi, ada kesenjangan besar pada angka partisipasi sekolah antara anak-anak di perkotaan dan anak-anak di kawasan perdesaan. (Lembaga Penelitian SMERU, 2006).
Latar belakang sosio-ekonomi adalah komponen utama untuk mengevaluasi pendidikan di Indonesia. Angka partisipasi murni anak-anak usia sekolah dasar diantara keluarga yang tergolong dalam pengeluaran per kapita yang terkaya kurang lebih 99%, sementara diantara anak-anak dari keluarga yang masuk dalam kategori yang termiskin hanya 92%. Tingkat partisipasi sekolah mereka yang masuk ke sekolah menengah pertama dalam kategori terkaya adalah 93%, sementara partisipasi sekolah dari kelompok termiskin hanya 66%. Yang lebih menyedihkan lagi adalah persentase partisipasi anak-anak usia sekolah menengah atas. Persentase masingmasing angka partisipasi untuk kedua jenis kelompok adalah 75% dan 29%. Hal ini mencerminkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin menghadapi hambatan serius dalam meneruskan pendidikan mereka, terutama untuk tingkat pendidikan lanjutan setelah sekolah dasar (Departemen Pendidikan Nasional, 2006)
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 dengan jelas menggariskan bahwa kesejahteraan penduduk yang miskin, termasuk akses terhadap pendidikan, menjadi tanggung-jawab pemerintah. Namun demikian, ada hambatan dana yang besar bagi pemerintah untuk melaksanakan semua tanggungjawab tersebut, terutama selama masa krisis saat ini. Lebih lanjut, undang-undang tersebut tidak harus diartikan sebagai pembatasan terhadap partisipasi lembaga-lembaga swasta dan masyarakat dalam membuka akses pendidikan bagi orang miskin.
Dari sudut pandang jangka panjang, pendidikan adalah suatu sarana yang paling efektif untuk menghapuskan kemiskinan. Melalui pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi anak-anak dari keluarga miskin dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sehingga memungkinkan mereka mematahkan mata-rantai kemiskinan. Fakta bahwa banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak mampu melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar menjadi tantangan serius dalam menghapus kemiskinan di masa yang akan datang.
Dengan kondisi perdesaan yang mengandalkan sektor pertanian sebagai bidang usaha maka sektor pertanian ini seharusnya digarap lebih serius karena bidang usaha pada sektor lain masih sulit berkembang dan belum merata hingga pedesaan. Hampir 75 persen investasi dalam berbagai bidang usaha masih berada di perkotaan, sehingga peredaran uang pun masih terpusat di kota-kota besar. Sirkulasi uang di perkotaan inilah yang menjadi rebutan para urban untuk berebut mengadu nasib. Dilihat dari sisi ini, urbanisasi merupakan proses alam yang berlangsung karena kondisi sosial menuntut terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota, sebab hidup di perkotaan lebih menjanjikan penduduk untuk meningkatkan taraf hidupnya. Meskipun tidak sedikit warga kota yang juga hidup di bawah layak dengan pendapatan kecil.
Derasnya urbanisasi memang memunculkan berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah jumlah penduduk kota semakin padat. Problem dan beban kota akan semakin bertambah seperti tingginya angka kriminalitas, pelacuran, permasalahan air bersih, perumahan dan sebagainya. Problem kemacetan lalu lintas, melubernya PKL, perumahan di atas stren kali, banjir, sampah yang tidak terkendali, serta problem kota lain merupakan social cost yang harus ditanggung kota tujuan kaum urban. Jika urban tidak terkendali maka kemampuan daya dukung alam (carrying capacity) tidak memadai dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, dimana kondisi ini akan berpengaruh terhadap kesehatan, problem kemiskinan dan menimbulkan makin beratnya problem kota.. Namun, fenomena ini tidak menjadi pertimbangan utama bagi kaum urban. Penduduk desa tetap tergiur dengan kehidupan ekonomi di kota-kota besar. Karena hanya melihat enaknya, hantu kegagalan para urban dalam meniti hidup tidak dipertimbangkan. Padahal mengadu nasib di kota besar diperlukan kemampuan-kemampuan untuk mendukung usahanya mencari kerja, seperti pendidikan yang menunjang, keahlian, dan kenalan yang lebih dulu berhasil.
Di antara faktor pendorong (push factor) derasnya urbanisasi adalah adanya kesenjangan produktivitas antar sektor pertanian dengan industri yang semakin menganga lebar. Hasil pertanian masyarakat tidak sebanding dengan hasil produksi sektor industri. Padahal 80 persen penduduk masih hidup secara agraris. Kesenjangan ini memunculkan kemiskinan menjadi terpusat di pedesaan yang mayoritas penduduknya masih bergelut di sektor pertanian yang kini makin memprihatinkan. Pengangguran di desa semakin meningkat seiirng bertambahnya populasi penduduk setiap tahun, di tambah tidak terciptanya lapangan pekerjaan sektor riil di pedesaan.
Pendidikan yang belum merata juga turut andil peningkatan jumlah kaum urban di kota-kota besar setiap tahunnya. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat desa juga masih rendah, sedangkan penduduk yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan bisa berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan senang hidup di kota.
1.5 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penulisan makalah ini lebih menitikberatkan pada pendekatan kualitatif, dimana data diperoleh dari (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007) :
a. Sumber dan penggunaannya
- data internal yaitu data yang dikumpulkan oleh lembaga itu sendiri dalam hal ini adalah data agropolitan dan pendidikan.
- data eksternal yaitu data yang diperoleh dari media massa, lembaga lain maupun buku-buku.
b. Cara memperolehnya
- data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung dari lapangan, dalam hal ini adalah observasi ke daerah agropolitan Kab. Semarang
- data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian terdahulu yang dilakukan pihak lain misalnya BPS (Badan Pusat Statistik)
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini secara garis besar terbagi atas 3 (tiga) Bab yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Berisi : Latar Belakang, Maksud dan Tujuan, Permasalahan, Teori, Metodologi, dan Sistematika Penulisan
Bab II : Pembahasan
Berisi : Analisis Kewilayahan, Analisis Kependudukan, Analisis Pendidikan, dan Analisis Keterkaitan Penduduk dan Pendidikan
Bab III : Penutup
Berisi Kesimpulan dan Rekomendasi
Daftar Pustaka : Berisi segala sumber yang digunakan oleh penulis dalam proses pembuatan makalah ini.
II. PEMBAHASAN
2.1. Analisis Kewilayahan
Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan (Ernan Rustiadi, 2004). Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyal tanggung jawab penuh terhadap pekembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Lebih lanjut keduanya menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pengembangan atau pembangunan perdesaan (rural development) secara baik dapat dilakukan dengan mengaitkan atau menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal.
Agropolitan dikembangkan di kabupaten termasuk Kabupaten Semarang karena dengan luasan atau skala kabupaten akan memungkinkan hal hal sebagai berikut (1) Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota; (2) Cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan wilayah pertumbulian ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi; dan (3) Pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Transformasi wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi) dan demokratisasi berdampak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan yaitu bagaimana mengikutsertakan pembangunan kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan (Douglas, 1998).
2.2. Analisis Kependudukan
Analisis demografi saat ini hanya mendapatkan porsi yang kecil dari pembuat kebijakan maupun analis ekonomi (sosial).Akibatnya, strategi pembangunan (ekonomi) yang didesain terhadap realitas demografi. Inilah yang menjadi salah satu dasar sulitnya merampungkan soal-soal ekonomi yang hampir menjadi klise seperti pengangguran dan kemiskinan. Boleh saja masalah pengangguran dan kemiskinan itu dianggap sebagai buah dari instabilitas ekonomi internasional maupun volatilitas ketahanan ekonomi domestik. Namun argumentasi ini belum menunjuk analisis yang lebih mendasar. Di sinilah aspek demografi menjadi salah satu tiang yang amat penting untuk mengisi kekosongan analisis mengenai rentannya strategi pembangunan.
Dari perspektif ini, sebenarnya hanya terdapat dua hal penting untukdikaji,yakni pertumbuhan penduduk yang sulit dikendalikan dan mobilitas penduduk desa kota intranegara alias urbanisasi.
Sebagaimana tercatat dalam data statistik pada 1990, jumlah penduduk Kabupaten Semarang yang tinggal di desa 60% dan yang menetap di kota sekitar 40%. Pada 2008 ini diperkirakan jumlah penduduk Kabupaten Semarang yang bermukim di desa dan kota sudah seimbang, yakni masing-masing sebesar 50%. Pada 2015, diprediksi jumlah penduduk yang tinggal di kota sudah lebih besar ketimbang penduduk yang menetap di desa,yakni 60% berbanding 40%.
Tentu saja,perubahan konfigurasi penduduk itu menimbulkan konsekuensi tidak sedikit. Bloom dan Khanna (2007) mencatat fenomena urbanisasi itu menyembulkan tiga sisi positif. Pertama,urbanisasi menyebabkan kenaikan pendapatan penduduk yang tinggal di perkotaan.. Kedua, urbanisasi juga memicu peningkatan pendapatan pada level daerah karena produktivitas sektor industri/jasa lebih tinggi ketimbang sektor pertanian. Ketiga, urbanisasi berkontribusi terhadap pembangunan perdesaan melalui aliran dana dari kota (remittances).
Namun demikian sisi lain urbanisasi adalah negatif dimana salah satunya urbanisasi diikuti pula oleh ketimpangan adanya jumlah penduduk yang miskin di wilayah perkotaan.
Hal ini membuktikan bahwa tidak mungkin lagi wilayah-wilayah kota disesaki aktivitas- aktivitas ekonomi yang boros lahan, termasuk di Kabupaten Semarang. Sektor industri yang dulu dan sekarang menjadi motor penggerak perekonomian kota mulai sekarang sudah harus diatur karena keterbatasan lahan. Pendirian pabrik-pabrik, gudang-gudang, dan peranti pendukungnya lambat laun harus digeser ke pinggiran kota.Jika tidak,wajah kota akan kian semrawut,penuh polusi,dan gersang. Akibatnya, di masa depan aktivitas ekonomi yang layak dilakukan di wilayah kota hanyalah sektor jasa dan perdagangan. Sebagai kota jasa, peran kota cuma menjadi instrumen yang memfasilitasi kegiatan administrasi, keuangan,dan distribusi barang/jasa.
Adapun sektor industri yang berbasis nonsumber daya alam (nonpertanian) digeser menuju ke wilayah pinggiran kota. Model ini sekaligus akan mengeliminasi persoalan kemiskinan dan pengangguran di perkotaan. Di Kabupaten Semarang ini harus diputuskan arah pembangunan desa adalah industrialisasi dengan basis sektor pertanian lewat skala usaha kecil/menengah. Pemerintah bertugas memberikan insentif kebijakan untuk merangsang sektor swasta melakukan investasi sekaligus mendesain aturan main yang tidak menempatkan pelaku sektor hulu (baca: petani) kalah dalam desain baru ini.
Di luar itu,infrastruktur ekonomi yang memadai di desa juga harus dibangun untuk menopang program tersebut.Jika pola ini dilakukan secara konsisten, 20 tahun ke depan perekonomian desa akan tumbuh dengan pesat tanpa kehilangan karakter perdesaan. Jalan ini di samping akan menerobos kemandekan ekonomi desa juga akan mencegah pergerakan penduduk ke wilayah kota dan memastikan tidak terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan antara desa dan kota. Di sinilah baru tampak betapa pentingnya pengetahuan demografi untuk mendukung keberhasilan strategi tersebut.
2.3. Analisis Pendidikan
\ Pada 2006, angka partisipasi murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A telah mencapai 94,73% dari target semula, yakni 94,48%. Jika dibandingkan dengan realisasi 2005, telah terjadi peningkatan sebesar 0,61%. Peningkatan APM yang relatif kecil itu bisa dipahami karena populasi anak usia SD/MI yang tidak bersekolah memang semakin sedikit. Mereka adalah kelompok anak yang secara jasmaniah, sosiologis, kultural, dan geografis memang sulit dan mahal untuk dijangkau layanan pendidikan dimana yang masuk kategori itu adalah anak-anak penyandang cacat, keluarga miskin, dan anak-anak di daerah terpencil.
Di lain pihak, angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B telah mencapai 88,68% pada 2006, melampaui target 88,50%. Dengan laju peningkatan APK SMP/MTs/SMPLB/Paket B tahunan sebesar 3%-4%, pemerintah optimistis Wajar Dikdas akan tuntas pada 2008 dan APK nasional 95% akan tercapai.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk menuntaskan Wajar Dikdas sembilan tahun, perlu diikuti kesiapsiagaan para pemangku kepentingan. Strategi yang dirancang harus lebih kreatif dan sinergis dengan pembangunan infrastrukturnya serta tidak terpaku pada pola-pola lama. Sebab sudah terbukti, strategi yang ada selama ini tidak mencapai target awal.
Program Wajar Dikdas sembilan tahun memang bukan pekerjaan yang mudah karena jumlah sasaran tersebar dan jumlah penduduk yang sangat besar. Disparitas akses pendidikan ternyata menonjol di perkotaan, perdesaan, dan antargender.
Disparitas APK SD/MI/SDLB antara perkotaan dan perdesaan sebesar 2,43%. Disparitas yang cukup besar itu mengindikasikan lebih pentingnya prioritas pembangunan infrastruktur secara umum di perdesaan dengan tujuan agar pelayanan pendidikan di kawasan perdesaan lebih mudah dijangkau.
Besarnya perbedaan geografis, ekonomi, sosial, budaya, dan kemajuan infrastruktur yang tersedia, jelas berpengaruh terhadap lambatnya perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan sebagai kebijakan pendidikan nasional. Kendala lain adalah masih besarnya angka kemiskinan, inflasi, dan tingkat pengangguran.
Menurut BPS (2006), jumlah penduduk miskin mencapai 30 % lebih, sementara itu tingkat pengangguran masih 11% dari total angkatan kerja, sehingga hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan orang tua dalam menyekolahkan anak-anak mereka.
Demikian kompleksnya kondisi di Kabupaten Semarang menuntut adanya perubahan pola pikir dalam penuntasan Wajar Dikdas, sehingga tidak harus semata-mata di atasi dengan menyediakan sekolah atau membangun sekolah baru; sebab hal itu belum tentu efisiensi bagi daerah-daerah yang infrastrukturnya masih sangat terbatas karena justru yang terjadi adalah biaya untuk pembangunan sekolah akan sangat mahal.
Fakta memang mengatakan masyarakat sangat memuja sekolah. Keberhasilan itu diukur dari jumlah sekolah dan bukan dari pembelajaran yang berlangsung, sehingga berkembang keyakinan seolah-olah pendidikan itu hanya identik dengan persekolahan. Karena pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana dan teratur secara kesinambungan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional maka pendidikan bisa terjadi melalui pendidikan formal maupun nonformal.
Saat ini pembangunan pendidikan lebih banyak diarahkan pada pembangunan pendidikan formal dengan adanya sekolah baru, ruang kelas baru, dan sekolah satu atap. Namun, belum dapat diketahui apakah APK yang meningkat tersebut disebabkan banyaknya sekolah atau karena kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka.
Pendidikan bagi masyarakat, perlu menyajikan menu-menu yang kreatif sesuai dengan potensi, kondisi, dan kebutuhan tiap-tiap daerah. Program itu tentunya tidak semata-mata hanya mengedepankan pembangunan unit sekolah baru dan pengembangan pelayanan serta kegiatan lain, tetapi perlu terobosan yang dipadukan dengan program penuntasan kemiskinan, yakni pendidikan yang terjangkau dan dapat terciptanya lapangan kerja dengan tetap memperhatikan potensi wilayah.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal lebih fleksibel dan akan lebih sesuai dengan kondisi potensi dan kebutuhan masyarakat perdesaan, karena mengharuskan anak-anak dari pagi hingga siang hari terus di sekolah tidak memungkinkan. Hal ini karena di sisi lain ekonomi rumah tangga masih juga bertumpu pada bantuan tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan orang tua. Melihat hal tersebut perlu perpaduan yang imbang antara pendidikan formal dan nonformal.
2.4. Analisis Keterkaitan Kewilayahan, Kependudukan, dan Pendidikan
Hampir 75 persen investasi dalam berbagai bidang usaha masih berada di perkotaaan, sehingga peredaran uang pun masih terpusat di kota. Sirkulasi uang di perkotaan inilah yang menjadi rebutan para urban untuk berebut mengadu nasib. Dilihat dari sisi ini, urbanisasi merupakan proses alam yang berlangsung karena kondisi sosial menuntut terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota, sebab hidup di perkotaan lebih menjanjikan penduduk untuk meningkatkan taraf hidupnya. Meskipun tidak sedikit warga kota yang juga hidup di bawah layak dengan pendapatan kecil.
Derasnya urbanisasi memang memunculkan berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah jumlah penduduk kota semakin padat.
Problem dan beban kota akan semakin bertambah seperti tingginya angka kriminalitas, pelacuran, permasalahan air bersih, perumahan dan sebagainya. Problem kemacetan lalu lintas, melubernya PKL, perumahan di atas stren kali,
banjir, sampah yang tidak terkendali, serta problem kota lain merupakan social cost yang harus ditanggung kota tujuan kaum urban.
Jika urban tidak terkendali maka kemampuan daya dukung alam (carrying capacity) tidak memadai dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, dimana kondisi ini akan berpengaruh terhadap kesehatan, problem kemiskinan dan menimbulkan makin beratnya problem kota..
Di antara faktor pendorong (push factor) derasnya urbanisasi adalah adanya kesenjangan produktivitas antar sektor pertanian dengan industri yang semakin menganga lebar. Hasil pertanian masyarakat tidak sebanding dengan hasil produksi sektor industri. Padahal sebagian besar penduduk masih hidup secara agraris.
Kesenjangan ini memunculkan kemiskinan menjadi terpusat di pedesaan yang mayoritas penduduknya masih bergelut di sektor pertanian yang kini makin memprihatinkan. Pengangguran di desa semakin meningkat seiirng bertambahnya populasi penduduk setiap tahun, di tambah tidak terciptanya lapangan pekerjaan sektor riil di pedesaan.
Pendidikan yang belum merata juga turut andil peningkatan jumlah kaum urban di kota-kota besar setiap tahunya. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat desa juga masih rendah, sedangkan penduduk yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan bisa berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan senang hidup di kota.
Berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan Pendek kata, para urban di kota perlu diperdayakan. Jangan diusir pulang ke daerah asal sebelum pemerintah mampu menangani problem kemiskinan desa, meratakan pendidikan, dan menyebarkan pusat industri dan perdagangan hingga pedesaan.
Agropolitan yang dikembangkan di Kabupaten Semarang adalah salah satu langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat perdesaan dengan memperhatikan potensi lokal yang ada. Tujuan dikembangkannya kawasan agropolitan ini tidak akan terwujud apabila sumberdaya manusia yang ada di sekitar kawasan tidak mempunyai bekal pendidikan untuk mengelola potensi lokal yang ada. Demikian juga apabila pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan agropolitan ini meningkat maka pendidikan penduduk juga akan meningkat karena kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya juga meningkat.
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan) dalam meminimalkan urbanisasi dan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat perdesaan.
2. Dukungan sumber daya manusia dalam pengembangan kawasan agropolitan ini penting karena memegang peran subyek dan obyek, sehingga kualitas sumber daya manusia akan berpengaruh untuk dapat mengelola potensi sumber daya yang ada.
3. Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan.
4. Pendidikan yang disediakan bagi masyarakat tidak harus merupakan pendidikan formal namun yang bisa diterima oleh masyarakat perdesaan dalam membekali dirinya untuk meningkatkan kehidupan ekonominya dan turut andil dalam pembangunan.
3.2. Rekomendasi
Cukup kompleks langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang ada, sehingga rekomendasi yang diberikan antara lain :
1. Mengembangkan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin di pedesaan termasuk mengoptimalkan kegiatan ekonomi di kawasan agropolitan dimana Pemerintah perlu membuat kebijakan yang bisa merelokasi atau mengembangkan pusat perdagangan dan industri hingga ke perdesaan, sehingga diharapkan dengan langkah ini lapangan kerja di desa akan meningkat dan angka pengangguran jelas akan menurun.
2. Memberdayakan kapasitas dan kemampuan kelompok masyarakat pedesaan kawasan agropolitan. Masyarakat di kawasan agropolitan perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang bisa meningkatkan pemahaman dan keterampilan agar bisa meningkatkan pendapatan dari sumber daya alam di sekitar. Misalnya, para petani tidak hanya memahami cara bertani saja tetapi bisa memasarkan dan mengolah hasil tani menjadi produk lain yang bisa dipasarkan.
3. Meningkatkan stimulus program pemberdayaan agar memunculkan kreativitas di luar aktivitas sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKRTN), 2007
3. Bintarto, 1983. Urbanisasi dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia, Yogya
4. Fiedman, John and Mike Douglas, 1975. Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre. Nagoya. Japan.
5. Douglas, 1986. Regional Network Development, UNHCS-Bappenas
6. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002. Profil Kawasan DPP dan Agropolitan. Departemen Kimpraswil, Jakarta.
7. Djakapermana,Ruchyat Deni, 2003. Makalah Seminar Nasional : Pengembangan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Yang Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
8. Ernan Rustiadi, 2004. Agropolitan : Penataan Kawasan Desa-Kota Berimbang. Crespent Press,Yogya.
9. Rustiadi dan Setia Hadi, 2006. Makalah Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategis Pembangunan : Pengembangan Potensi Energi Wilayah Perdesaan Cianjur Selatan.
10. Anonim, Laporan Perkembangan Agropolitan Kabupaten Semarang 2007. Bappeda Kabupaten Semarang.
11. Ernan Rustiadi dan Sugiman Pranoto, 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan. Crespent Press, Yogya
12. Kabupaten Semarang Dalam Angka 2006, 2007. Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Pusat Statistik, Kabupaten Semarang
13. Purwanto dan Sulistyastuti, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Administrasi Publik dan Masalah-Masalah Sosial. Gava Media, Yogya.
1 komentar:
Pembahasan yang bagus sekali..
saya tertarik dengan buku Douglas, 1986. Regional Network Development, UNHCS-Bappenas..
kalo boleh saya tau, dimana saya bisa mendapatkan buku tersebut..
Posting Komentar